Synopsis Perang Kota (2025)


🎬 PERANG KOTA (1946): Sebuah Kisah Sunyi dari Jakarta yang Terbakar

Jakarta, tahun 1946. Kota ini bukan lagi pusat kemegahan Hindia Belanda. Ia berubah jadi medan perang diam-diam, penuh asap, reruntuhan, dan jiwa-jiwa yang hancur tapi belum menyerah. Dari puing-puing sejarah itu, muncullah sebuah kisah tragis—tentang cinta, pengkhianatan, dan seorang lelaki bernama Isa yang ingin tetap manusia meski dunianya berubah jadi arang.

🌆 Jakarta Setelah Proklamasi: Kota Tanpa Presiden

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jakarta ditinggalkan Presiden Soekarno dan kawan-kawan yang pindah ke Yogyakarta. Kota ini kini jadi zona panas rebutan antara tentara Inggris (yang membawa pasukan Gurkha), sisa-sisa tentara Jepang yang belum pulang, dan tentu saja Belanda yang datang lagi dengan baju baru bernama NICA.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Isa, seorang mantan pejuang berusia 35 tahun, menjalani hidup dalam senyap. Dulu ia prajurit, pemilik nyali dan senapan. Sekarang ia hanyalah guru SD dengan tangan yang masih bisa memetik biola, tapi tak lagi bisa memeluk istrinya secara utuh. Trauma perang membuat Isa mengalami impotensi—bukan cuma secara fisik, tapi juga batin.

🏚️ Rumah Tua, Istri Sunyi, dan Anak yang Bukan Darah Daging

Isa tinggal di rumah petak bersama istrinya, Fatimah, dan anak angkat mereka, Salim. Rumah itu sepi. Makan seadanya. Sekolah tempat Isa mengajar sudah tidak punya murid lagi. Untuk bertahan hidup, Isa terpaksa mencuri buku catatan dari perpustakaan dan menjualnya ke pasar loak. Jakarta tak lagi punya masa depan. Yang ada hanya hari ini—dan hari ini pun muram.

Fatimah adalah perempuan yang setia. Tapi kesetiaan itu rapuh. Ia haus kasih sayang, sentuhan, dan harapan. Semua hal yang sudah lama tidak bisa Isa berikan.

🔥 Kembalinya Hazil: Api Lama, Bara Baru

Suatu hari datanglah Hazil, mantan murid biola Isa. Sekarang ia jadi pemuda tampan, semangatnya membara oleh revolusi. Hazil membawa berita bahwa kelompok pejuang bawah tanah sedang merencanakan misi besar: meledakkan gedung bioskop Pasar Senen, tempat berkumpulnya para pejabat NICA dan tentara Belanda. Target utama mereka: Van Mook, Gubernur Jenderal Belanda yang licin.

Isa ragu. Tapi idealisme di dalam dirinya belum mati. Ia tahu revolusi mungkin sudah dipermainkan elite, tapi baginya, membela tanah air tetap soal harga diri.

Di saat yang sama, Fatimah dan Hazil makin dekat. Tanpa kata-kata, mereka saling mengerti. Tatapan. Sentuhan bahu. Hingga akhirnya, cinta itu tumpah dalam dosa yang mereka sembunyikan dalam-dalam.

🤰 Kehamilan, Rahasia, dan Kepura-puraan

Tak lama, Fatimah hamil.

Isa tahu anak itu bukan dari darahnya. Tapi ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Semoga anak ini lebih kuat dari bapaknya.” Ia memilih diam. Karena bagi Isa, menanggung kepedihan lebih baik daripada menghancurkan sisa-sisa keluarganya yang tinggal remah.

🧨 Misi Gila: Ledakkan Bioskop, Bunuh Van Mook

Bersama Hazil, Isa membentuk tim kecil:

  • Iwan, tukang becak yang jago merakit bom dari sisa peluru.
  • Rukmini, mantan penjaga bioskop yang tahu jadwal pejabat.
  • Kasim, veteran tua yang rela mati asal Belanda ikut terbakar.

Latihan. Peta. Penyusupan bahan peledak. Semua dilakukan dalam diam. Tapi Isa curiga. Hazil terlalu tenang, terlalu tahu, terlalu licin. Kecurigaan makin kuat ketika Iwan ditemukan tewas di got. Lidahnya dipotong. Ada pengkhianat di antara mereka.

😢 Malam Sebelum Segalanya Meledak

Malam sebelum aksi, Fatimah memohon Isa membatalkan misi. “Ayo kita lari ke Jogja. Mulai lagi.”

Isa diam. Dalam hatinya, ia tahu: yang ia ingin ledakkan bukan cuma gedung, tapi juga perasaan gagal yang menumpuk di dadanya.

💥 Hari Ledakan: Dikhianati di Tengah Revolusi

Hari H. Tim menyusup. Bom ditanam. Isa siap. Tapi pasukan Belanda datang duluan. Jebakan.

Semua ditangkap. Iwan mati. Rukmini ditarik paksa. Isa tertangkap. Di kejauhan, ia melihat Hazil berdiri, tidak menolong. Tatapan kosong. Ia berbalik, pergi.

Hazil adalah pengkhianatnya.

🕯️ Akhir dari Semuanya: Damai yang Terlambat

Isa disiksa. Diam. Tidak satu nama pun keluar dari mulutnya.

Bertahun-tahun kemudian, ia dibebaskan. Jakarta berubah. Gedung bioskop kini jadi mall kecil. Rumah kosong. Di meja, foto Fatimah dan Salim. Di baliknya, selembar surat:

“Maaf. Kami hanya ingin hidup. Terima kasih karena sudah membiarkan.”

Isa memainkan biola tuanya. Senarnya tinggal tiga. Nadanya sumbang. Tapi ia terus bermain. Karena kadang, bertahan hidup lebih penting daripada jadi pahlawan.

🎻 Penutup

Perang Kota bukan kisah heroik penuh sorak. Ini adalah potret kelam dari kota yang dikhianati, manusia yang dikorbankan, dan cinta yang gagal tumbuh di tanah penuh darah. Sebuah cerita yang sunyi, tapi membekas lama setelah filmnya berakhir.

---

Posting Komentar

0 Komentar